Sabtu, 20 Juni 2015

Aspek Hukum dalam Ekonomi



PERLINDUNGAN KONSUMEN
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Berdasarkan UU no.8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen  disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
a.       Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
b.      Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
c.       Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
d.      Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
e.       Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
f.       Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
g.      Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
  1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
  2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
  3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
  4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
  5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
  6. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”. Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” istilah“ dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.
Persaingan usaha tidak sehat maksudnya dimana suatu perusahaan melakukan suatu usaha dengan tidak sehat bisa dengan cara mengurangi bahan produksinya untuk memperoleh lebih banyak keuntungan tanpa memikirkan konsumennya yang ia mau hanyalah suatu perusahaan yang ia dirikan menjadi lebih profit dibanding sebelumnya.

      a.       Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai
      salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
      sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
      pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
  3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan
      oleh pelaku usaha.
  4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

      b.      Kegiatan yang Dilarang Monopoli
Dalam UU No.5 Tahun 1999, kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan, seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas, tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1.      Monopoli
2.      Monopsoni
3.      Persekongkolan
4.      Penguasaan Pasar
5.      Posisi Dominan
6.      Jabatan Rangkap
7.      Pemilikan Saham
8.      Penggabungan, Peleburan, dan Pengambil Alihan

      c.       Perjanjian yang Dilarang Monopoli dan Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5 tahun 1999 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5 Tahun 1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut-collusive behaviour-termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang Anti Monopoli. Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5 Tahun 1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :
1.      Oligopoli
2.      Penetapan Harga
3.      Pembagian Wilayah
4.      Pemboikotan
5.      Kartel
6.      Trust
7.      Oligopsoni
8.      Integrasi Vertikal
9.      Perjanjian Tertutup
10.  Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

      d.      Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu
Pasal 50
1.      Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.      Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
3.      Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
4.      Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
5.      Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
6.      Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
7.      Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
8.      Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
9.      Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
Dalam kamus Bahasa Indonesia, sengketa berarti pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Secara umum, sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1.      Negosiasi (Perundingan)
2.      Enquiry (Penyelidikan)
3.      Good Offices (Jasa-jasa Baik)
Penyelesain perkara perdata melalui sistem peradilan :
1.      Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2.      Sebaliknya, secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (oedinary citizens) untuk perkara di pengadilan.
Tujuan Memperkarakan Suatu Sengketa :
1.      Untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan
2.      Pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly), dan murah (inexpensive)
Berperkarakan melalui pengadilan :
1.      Lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic)
2.      Biaya tinggi (very expensive)
3.      Secara umum tidak tanggap (generally unresponsive)
4.      Kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.

Sumber :